Ina
Dalam banyak pertemuan di majlis dan wajihah, seringkali yang dijadikan hidangannya adalah menggunjing. Termasuk dalam hal ini yang sangat Ina rasakan dari dekat di sekitar Ina dan mugkin Ina sendiri juga tidak sadar dan sengaja melakukan pergunjingan. Dengan dalih apapun, bisa karena hanya sekedar ingin curhat, melepaskan emosi yg ada dlm dada, kekesalan atau kekecewaan pada seseorang namun apa daya belum bisa menyampaikannya secara langsung. Terlebih lagi sangat amat Ina rasakan di lingkungan kantor yang penuh dg konspirasi, trik dan politis *welleh terlalu hiperbol ga yaa..*.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang hal tersebut, dan menyeru agar segenap hamba menjauhinya. Allah menggambarkan dan mengidentikkan ghibah dengan sesuatu kotor. Allah berfirman yang artinya:
"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya". (Al-Hujurat: 12)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan makna ghibah (menggunjing) dalam sabdanya :
"Artinya : Tahukah kalian apakah ghibah itu ? "Mereka menjawab : "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. "Beliau bersabda :"Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya." Ditanyakan : "Bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku ? "Beliau menjawab : "Jika apa yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya". (Hadits Riwayat Muslim)
Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.
Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya.
"Artinya : Barangsiapa menolak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya". (Hadits Riwayat Ahmad, 6/450, hahihul Jami'. 6238)


Kadang2 kita mencoba untuk berhati2 tidak terjerumus dalam pergunjingan, namun kalo kita tidak ikut mendengarkan sepertinya orang2 akan mempertanyakan kepada kita dimana rasa kepedulian kita terhadap kawan yg sedang bersedih atau ditimpa kemalangan. Nah di saat seperti itulah kadang kita menjadi dilema untuk tetap cuek or bergabung dalam 'obrolan' dg teman2.
So untuk lebih memperjelas, berikut Ina copas dari http://van.9f.com/ghibah_yang_boleh.htm , sebagai pengingat Ina agar selalu berhati2, insyaAllah.


Bentuk-bentuk Ghibah yang Diperbolehkan.


Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara' yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:

1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 148:

"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa' : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:

"Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. An-Nisa: 149)

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.
Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil.

3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal.
Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:

a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma' ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur'an.

b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak.

c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya.
Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti.

Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.Wallahu a'lam bishshawab
0 Responses

Post a Comment