Memasuki bulan April, merupakan
bulan dimana anak-anak sekolah mulai disibukkan mencari kostum kebaya. Buat apa
lagi, kalo bukan untuk memperingati hari Kartini. Pada tahun ini, dunia
perfilm-an juga tidak mau ketinggalan. Pada tanggal 21 Maret 2017 lalu telah launching
official trailer, soundtrack dan website film Kartini, yang segera tayang
perdana pada tanggal 19 April 2017. Film berjudul "KARTINI" merupakan
film biopic tentang tokoh pahlawan wanita dari Indonesia R. A Kartini. Film ini
diarahkan oleh Hanung Bramatyo, sutradara yang sebelumnya pernah mengarahkan
film biopic tentang Soekarno. Film ini dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo
sebagai tokoh utama dan artis lain seperti Acha Septriasa, Adinia Wirasti,
Deddy Sutomo dll.
Namun kali ini saya tidak ingin
mereview tentang film yang lagi happening di instagram ini. Saya akan menceritakan napak
tilas perjuangan Kartini melalui kunjungan saya ke museum Kartini pada hari
Sabtu, 15 April 2017.
Di
Indonesia, ada dua museum RA Kartini, yaitu di Jepara dan di Rembang. Untuk
yang di Jepara lebih bercerita pada masa Kartini sebelum menikah, sedangkan di Rembang bercerita tentang masa Kartini setelah menikah
dan menghabiskan sisa hidupnya.
Nah, kali ini saya mengunjungi
museum Kartini yang berada di Rembang.
Museum RA Kartini Rembang terletak
di Jalan Gatot Subroto No. 8, Rembang. Bangunan yang didominasi warna hijau
putih ini ternyata menyimpan koleksi barang pribadi milik RA
Kartini, seperti tempat tidur, tempat jamu, meja makan, mesin jahit,
lesung, cermin rias, meja untuk menulis dan juga meja untuk merawat bayi.
Di
sebelah timur museum terdapat gedung sekolah wanita yang didirikan oleh Kartini
untuk mengajar rakyat pribumi. Berkat kegigihannya, Kartini mampu mendirikan
sekolah wanita di beberapa daerah dengan nama Sekolah Kartini.
Bangunan
museum Kartini sangat sederhana. Berasal dari bangunan rumah dinas bupati
Rembang, dimana beliau tinggal bersama suaminya yang seorang bupati Rembang
yaitu Raden Adipati Djojodiningrat.
Rumah joglo, khas jawa, bertempat di dekat alun-alun Rembang. Posisi yang khas dan
prototype dimana pusat pemerintahan berada di dekat lapangan/alun-alun kota.
Berkunjung ke museum ini merupakan refreshing sederhana dan murah meriah banget. Hanya cukup membayar tiket Rp. 2000,00 saja. Walau murah tapi ga murahan lhoo.. Bangunan museum ini memang terlihat kuno banget, karena masih mempertahankan bangunan fisik sesuai aslinya. Namun di dalamnya syarat makna. Terlebih ketika kita masuk ke dalam dan membaca tulisan-tulisan Kartini dilengkapi dengan foto-foto. Wow... dalem banget maknanya. Beberapa hal banyak yang terkait gender, kekuatan jati diri, persaudaraan, persahabatan dan bahkan tentang parenting. Tak salah akhirnya kemudian terbitlah buku yang diprakarsai oleh J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht'. Kemudian buku tersebut diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Dan pada akhirnya buku tersebut lebih dikenal dengan nama "habis gelap terbitlah terang".
Kartini aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu, terlebih kepada Nyonya Rosa Abendanon. Di surat-surat tersebut, Kartini mencurahkan keinginan dan cita-citanya, tentang pergolakan jiwa, tentang kebahagiaan dan kesedihan yang dialami oleh Kartini.
Berkunjung ke museum ini merupakan refreshing sederhana dan murah meriah banget. Hanya cukup membayar tiket Rp. 2000,00 saja. Walau murah tapi ga murahan lhoo.. Bangunan museum ini memang terlihat kuno banget, karena masih mempertahankan bangunan fisik sesuai aslinya. Namun di dalamnya syarat makna. Terlebih ketika kita masuk ke dalam dan membaca tulisan-tulisan Kartini dilengkapi dengan foto-foto. Wow... dalem banget maknanya. Beberapa hal banyak yang terkait gender, kekuatan jati diri, persaudaraan, persahabatan dan bahkan tentang parenting. Tak salah akhirnya kemudian terbitlah buku yang diprakarsai oleh J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht'. Kemudian buku tersebut diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Dan pada akhirnya buku tersebut lebih dikenal dengan nama "habis gelap terbitlah terang".
Kartini aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu, terlebih kepada Nyonya Rosa Abendanon. Di surat-surat tersebut, Kartini mencurahkan keinginan dan cita-citanya, tentang pergolakan jiwa, tentang kebahagiaan dan kesedihan yang dialami oleh Kartini.
Tempat tinta dan tempat surat RA Kartini |
Dari
tulisan-tulisan di surat tersebut, terlihat karakter seorang Kartini sebagai sosok yang cerdas dan
berani. Hal yang sangat jarang ditemui oleh perempuan-perempuan di masa itu.
Oke, balik lagi ke museum. Rumah
yang menjadi museum itu terdiri dari beberapa ruangan. Yang masing-masing diberi
nama.
Di
ruang depan/ruang tamu terletak silsilah Kartini. Papan silsilah ini
menunjukkan bahwa Kartini dilahirkan pada 21 April
tahun 1879 dan wafat pada 17 September 1904.
Jadi dalam usia 25 tahun, beliau menorehkan banyak cerita yang akhirnya
menjadikannya seorang pahlawan nasional. Beliau wafat tidak lama setelah
melahirkan anaknya yang pertama yang bernama RM.
Soesalit.
Disana terpampang ukiran besar di dinding yang menggambarkan potret keluarga
Kartini. Ukiran kayu yang cukup besar yang menggambarkan keluarga Kartini dan suami. Dimana posisi Kartini ada di
sebelah kanan suaminya.
Lanjut ke kamar utama, tempat Kartini beristirahat. Di
kamar yang berada si sebelah kiri. Disana terdapat satu ranjang kayu berukir. Ranjang kayu ini terdapat tempat penyimpanan buku-buku di bagian bawahnya. Kemudian, ada meja
berbentuk persegi panjang dengan marmer pada bagian atasnya. Meja ini berfungsi
untuk merawat bayi. Selain itu ada satu meja rias
berbentuk hampir seperti trapesium, yang pada bagian lebarnya tidak lurus, melainkan
cembung. Seperti juga meja untuk merawat bayi, meja ini pun menggunakan marmer
berwarna putih pada bagian atasnya. Di atas meja rias tersebut terdapat cermin
berbentuk lingkaran yang digantungkan pada dinding.
Di
kamar-kamar lain telah disulap menjadi ruangan-ruangan yang menampilkan
foto diri Kartini bersama keluarga, khususnya potret Kartini bersama 2
saudarinya yaitu Kardinah dan Roekmini. Ada foto yang khusus diambil di studio
di Semarang, ketika menjelang saudarinya akan menikah. Ada juga foto 3 saudari
tersebut memakai pakaian jepang. Persaudaraan mereka Nampak sangat erat. Bahkan
Kartini menggambarkan 3 saudari ini dalam bentuk lukisan 3 angsa.
Pemikiran R.A. Kartini
Ayahnya menyekolahkan
Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian
belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun. An
unusual accomplishment for Javanese women at the time. Namun setelah itu,
Kartini berhenti melanjutkan pendidikan, ketika itu menurut kebiasaan anak
perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit', to prepare young girls for
their marriage.
Meskipun
berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau
surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih
dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan
pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta
buku-buku yang ia baca.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usianya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Hingga kemudian ia
mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi tapi tetap menjaga jati diri perempuan indonesia, sebab dalam
pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status
sosial yang cukup rendah kala itu.
Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh
ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang
untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Kesedihan ini tertulis dalam surat yang dikirimkannya.
Kartini merasakan dia adalah seekor harimau yang berada di dalam sangkar |
Hingga pada
akhirnya, ia tidak dapat melanjutkan cita-citanya baik belajar menjadi guru di
Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima
beasiswa untuk belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini
berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang
yang telah memiliki tiga orang istri. At this time, polygamy was a common practice among the nobility.
Namun saat menjelang pernikahannya, terdapat
perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan saja, tetapi juga disebutkan agar
Kartini dapat menulis sebuah buku.
Alquran yang dihadiahkan untuk Kartini |
Perubahan
pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan
menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah
dengan Adipati Rembang.
Ketika beliau sedang mengandung anaknya, orang-orang di sekitarnya berharap bahwa beliau akan melahirkan seorang anak laki-laki. Beliau menuliskan kegelisahannya sebagai seorang calon ibu.
Dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, R.A Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun 4 (empat) hari kemudian setelah melahirkan
anaknya yang pertama, R.A Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904
di usianya yang masih sangat muda yaitu 25 tahun. Beliau kemudian dikebumikan
di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.
Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama "Sekolah Kartini" untuk menghormati jasa-jasanya. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.
Pemikirannya
banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika
itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia
kala itu seperti W.R Soepratman yang kemudian membuat lagu yang berjudul 'Ibu Kita Kartini'.